🌫️ Cerita Rakyat Dari Sulawesi Tenggara
Sangkuriang ( Sunda: ᮞᮀᮊᮥᮛᮤᮃᮀ, translit. Sang Kuriang) adalah cerita rakyat serta legenda masyarakat Sunda. Legenda tersebut berkisah tentang terciptanya danau Bandung, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang, dan Gunung Bukit Tunggul . Legenda ini didukung dengan fakta geologi, diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di
CeritaRakyat La Moelu. Pada zaman dahulu, di suatu desa kecil di Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki bernama La Moelu. Saat ia masih bayi, ibunya meninggal sehingga dirinya hanya tinggal dengan ayahnya saja. Sayangnya, sang ayah telah tua renta dan tak bisa mencari nafkah.
Rating: 2.9 (18 pemilih) Gunung Saba Mpolulu terletak di Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Dalam bahasa setempat, kata Saba berarti terpongkah, jatuh, atau hilang sebagian, seperti mata kapak yang sompel akibat berbenturan dengan batu atau benda keras lainnya. Sedangkan kata Mpolulu berarti kapak.
CeritaRakyat Dari Sulawesi Selatan oleh: H. Abdul Muthalib ; Cerita Rakyat Dari Nusa Tenggara Barat oleh: Yaningsih, Sri Terbitan: (1996) Cahaya Dari Tenggara : Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara oleh: AMRAN Tasai Terbitan: (2009)
Cerita Rakyat Sumbawa - Tanjung Menangis (Versi Basa Samawa) Tanjung menangis yanansi singen tanjung pang ano siup semawa. Pang. samandunung ana, anak dadara Datu Samawa ya kena leng penyakit ade nonda. sopo- sopo tau pang Samawa ade bau seterang na. Datu Samawa kamo lalo lako.
Lokasi danau tepatnya berada di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Dinamakan Danau Tiga Warna, karena Gunung Kelimutu memiliki tiga kawah dengan warna air yang berbeda-beda. Danau Kelimutu merupakan obyek wisata unggulan di Pulau Flores. Selain keindahan alamnya, Danau Kelimutu menyimpan legenda
20 Tari Tradisional Sumatera Selatan Lengkap Penjelasan + Gambar. Tari Tumatenden, Tarian Tradisional Dari Provinsi Sulawesi Utara. Penari wanita yang tidak mendapatkan selendang pun menari dengan gerakan seperti kebingungan. Lalu penari pria datang membawa selendang yang dicurinya dan menghampiri penari wanita tersebut dengan gerakan seperti
perbandingan cerita rakyat antara Malin Kundang dengan Dampu Awang. Hasil penelitiannya me-nunjukkan adanya persamaan yang dominan dalam hal bentuk, tema, dan isinya. Selanjutnya, Gusal (2015) yang meneliti mengenai nilai pendidikan cerita rakyat daerah Sulawesi Tenggara yang dtulis oleh La Ode Sidu.
Adacerita unik saat dalam kunjungan kerjanya sebagai Pangdam XIV/Hasanuddin di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara beberapa waktu silam. Ketika itu, sejam sebelum kedatangannya, sejumlah Prajurit TNI dan Pejabat pemerintahan serta para kerabatnya terlihat beriringan menggunakan mobil yang dikawal Patroli Polisi Militer menuju Lokasi pendaratan
CeritaRakyat Sulawesi Tenggara ( Penakluk Naga & Kembalinya sSi Anak Kembar ) oleh: M. Yudhistira & Irsyadul Anam Terbitan: (2007) Cerita rakyat Sulawesi Tenggara :" Penakluk naga si anak kembar Terbitan: (2000)
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Kali ini cerita rakyat Indonesia sampai ke cerita rakyat Kepri tentang kisah mistis dan kepahlawanan patahnya Gunung Daik hingga bercabang tiga di Lingga. Ada tiga versi cerita rakyat Kepri tentang asal usul Gunung Daik yang mempunyai puncak bercabang tiga dan masing-masing puncaknya memiliki nama.
CeritaRakyat Sulawesi Tengah. Pemuka bulili pun mengirim makeku dan bantaili untuk menemui ayah dari anak tersebut. 6 juni 2018 dongeng cerita rakyat. Kumpulan Cerita Rakyat Sulawesi Tengah from hari ini 1.885 kemarin 2. Artikel kali ini menampilkan cerita. Oleh karena orangtuanya tidak mampu lagi menghidupinya, sesentola pun pergi dari kampungnya. Source: www.youtube.com
yQno. Kamu sedang mencari bacaan untuk menghabiskan waktu luang? Bila ingin membaca cerita rakyat Nusantara, kisah dari Sulawesi Selatan berjudul Oheo mungkin bisa kamu jadikan pilihan. Kisah lengkapnya bisa kamu baca di artikel ini!Sulawesi Tenggara memiliki banyak legenda atau cerita rakyat. Selain La Sirimbone, La Moelu, dan Gunung Mekongga, ada pula cerita rakyat Oheo. Legenda tersebut memiliki kisah yang menarik dan sarat adalah seorang pemuda yang bekerja sebagai petani tebu. Dalam cerita rakyat ini, ia mencuri selendang dari Bidadari yang sedang mandi di sebuah sungai. Sempat tak mengakui perbuatannya, pemuda itu akhirnya meminta sang Bidadari untuk menikah bagaimanakah kelanjutan cerita rakyat Oheo? Apakah bidadari itu setuju menikah dengannya? Kalau penasaran, teruskan saja membaca artikel ini. Tak hanya kisahnya saja, berikut ini telah kami paparkan juga unsur intrinsik, pesan moral, dan fakta menariknya. Selamat membaca!Cerita Rakyat Oheo Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pemuda bernama Oheo yang tinggal di sebuah desa kecil di Sulawesi Tenggara. Untuk mencukupi kebutuhan kesehariannya, ia bekerja sebagai seorang petani tebu. Tiap pagi, ia pergi ke hutan untuk mengunduh tebu. Di dalam hutan itu terdapat sungai yang airnya sangat jernih. Usai mengunduh tebu, ia mencucinya di sungai sambil melihat burung-burung nuri yang sedang asyik bermain air. Pada suatu siang, Oheo yang hendak ke sungai untuk mencuci tebu, mendengar suara para gadis. Ia lalu mengintip sungai itu dari balik pohon. Ternyata, ada 7 bidadari cantik yang sedang mandi di sungai itu. “Wah, baru kali ini aku melihat para-paras cantik bidadari. Aku ingin menikahi salah satu dari mereka. Tapi, bagaimana caranya, ya?” ucap pria itu dalam hati. Saat sedang berpikir, ia melihat selendang miliki para bidadari itu yang letaknya tak jauh dari persembunyiannya. Dengan cepat dan acak, ia mengambil salah satu selendang. “Mungkin saja aku bisa menikahi pemilik selendang ini,” ujarnya dalam hati. Ia lalu menyembunyikan kain itu di ujung kasau bambu. Kemudian, ia kembali ke sungai untuk melihat siapakah pemiliki selendang itu. Ia lalu mendapati sang bidadari sedang kebingungan mencari selendangnya. Ia tak bisa kembali ke khayangan. Sedangkan bidadari yang lain sudah kembali ke khayangan terlebih dahulu. Baca juga Cerita Rakyat Asal-Usul Gunung Pinang dan Ulasan Lengkapnya, Kisah Seorang Anak Laki-Laki yang Durhaka Mendekati Sang Bidadari “Hmm, cantik sekali bidadari ini. Aku akan lekas mendekatinya,” ucap Oheo dalam hati. Ia lalu berjalan mendekati wanita itu. “Hai, wanita cantik. Apa yang kau lakukan di sini? Siapa namamu?” tanya pria itu pura-pura tidak tahu. “Namaku Putri Anawai. Aku sedang mencari-cari selendangku. Apakah kamu melihatnya?” tanya Putri. “Selendang? Aku tak melihatnya,” ucap Oheo berbohong. “Benarkah kamu tak melihatnya? Tidak ada orang lain di hutan ini selain kamu. Jangan-jangan kamu menyembunyikannya?” tanya sang Putri memelas. “Kenapa kau menuduhku? Akan aku bantu mencari selendangmu. Tapi, jika aku berhasil menemukannya, kamu harus menikahiku!” ucap pria itu. “Aku tidak mau! Tujuanku mencari selendangku adalah untuk kembali ke asalku. Aku bisa mencarinya sendiri. Kau tak perlu membantuku,” bentak Putri Anawai. Lalu, Putri Anawai mencari ke seluruh penjuru sungai dan hutan. Tapi, ia tak kunjung menemukan selendenganya. Hingga akhirnya, ia pun kelelahahn dan menangis karena tak bisa pulang. Setelah itu, Oheo kembali menemui Putri Anawai yang sedang putus asa. Ia lalu menunjukkan selendang milik bidadari itu. “Inikah yang kamu cari?” ucap Oheo. “Benar kataku! Kau menyembunyikan selendangku! Cepat kembalikan milikku sekarang juga!” bentak Putri Anawai. “Tidak semudah itu, Putri. Aku akan mengembalikannya jika kamu mau menikah denganku,” ucap Oheo memaksa. Perjanjian Pernikahan Awalnya, Putri Anawai menolak. Namun, karena tak bisa berkutik, ia pun menerima permintaan pria itu. “Baiklah, aku akan menerima tawaranmu. Tapi ada syarat yang harus kau penuhi!” ucap sang Putri. “Harusnya sedari tadi kau menerima tawaranku. Kenapa harus mempersulit hidupmu sendiri. Cepat ucapkan permintaanmu. Aku akan berusaha untuk mengabulkannya,” ucap petani tebu ini. “Aku tak ingin membereskan rumah. Kamu harus memperlakukanku dengan istimewa. Jika nanti aku punya anak darimu, kamulah yang harus membersihkan kotorannya,” ucap sang Putri. Tanpa pikir panjang, Oheo langsung menyetujui permintaan tersebut. “Baiklah, aku setuju dengan permintaanmu. Bagiku hal-hal tersebut tidaklah menjadi masalah buatku,” ucapnya. Kemudian, mereka pun melangsungkan pernikahan. Sesuai perjanjian, Putri Anawai tidak melakukan pekerjaan rumah. Mulai dari masak, membersihkan rumah, hingga bekerja, semua Oheo lakukan sendiri. Tak berselang lama setelah menikah, Putri Anawai pun hamil dan melahirkan. Setiap anaknya buang hajat, Oheo lah yang membersihkan kotorannya. Lama kelamaan, Oheo merasa tak terima. Ia kerap memarahi Putri Anawai. “Ini kan pekerjaan sederhana! Harusnya kamu tak perlu membuatku membersihkan kotoran bayi ini!” bentak pria itu. “Bukannya kau sudah berjanji bakal membersihkan kotoran anak kita? Kalau kau tak bisa menepatinya, cepat kembalikan selendangku. Lebih baik aku kembali ke khayangan,” ancam Putri Anawai. Merasa takut ditinggal oleh sang istri, Oheo pun menuruti perkataannya. Ia dengan sangat terpaksa membersihkan kotoran dari anak mereka. Setiap hari, ia juga memandikan dan mengganti baju sang anak. Tak Lagi Takut dengan Ancaman Putri Anawai Pada suatu hari, Putri Anawai berteriak-teriak memanggil suaminya. Alasannya karena sang anak buang air besar. Karena sedang lelah dan kesal, Oheo menolak permintaan sang istri. “Kali ini aku tak akan membersihkannya. Aku lelah!” ucap sang suami. “Bagaimana dengan janji-janjimu? Kau hendak mengingkari janjimu!” ucap Putri Anawai. “Ah terserah! Jika kau ingin kembali ke khayangan, kembalilah! Aku tak peduli lagi dengan janji kita!” bentak Oheo seraya meninggalkan rumah. Putri Anawai lalu membersihkan kotoran anaknya sambil menangis. Ia teringat akan janji-janji suaminya di masa lalu. Tak hanya itu, dirinya juga teringat dengan kehidupannya semasa di khayangan. Karena itu, ia pun memutuskan untuk kembali ke khayangan. Ia berusaha mencari selendangnya di rumah. Tak lama kemudian, ia pun berhasil menemukannya. Ia lalu mencium anaknya sambil menangis. “Maafkan aku, Nak! Ayahmu telah ingkar janji. Ibu tak bisa hidup seperti ini. Maafkan Ibu harus meninggalkanmu,” ucap Putri Anawai sambil memeluk anak bayinya. Ia lalu mengenakan selendangnya dan kembali ke khayangan. Kembalinya ke rumah, Oheo terkejut mendengar anaknya menangis sendirian. Ia pun mencari-cari istrinya, tapi tak kunjung ketemu. Lalu, ia melihat tempatnya menyimpan selendang. “Ah, kamu ternyata benar-benar kembali ke khayangan,” ucapnya menyesal telah membentak Putri Anawai. Merawat Anak Seorang Diri Oheo merasa kesulitan merawat anaknya seorang diri. Tiap hari ia menggendong anaknya yang menangis minta susu. Karena sudah tak kuat lagi melihat anaknya menangis, ia pun mencari tahu bagaimana cara pergi ke khayangan. Ia sangat ingin bertemu dengan Putri Anawai. Setelah mencari-cari tahu, ia akhirnya berhasil mendapatkan informasi penting. Menurut para warga, Oheo harus menemui Suku Tolaki untuk meminta bantuan pergi ke khayangan. Dengan membawa anaknya, Oheo pun memberanikan diri untuk menemui orang-orang Suku Tolaki. Ia mengatakan alasannya ingin pergi ke khayangan dengan anaknya. Pemimpin Suku Tolaki pun setuju untuk membantunya. Tapi, ada syarat yang harus ia penuhi. Syarat tersebut cukup sulit, yakni Oheo harus membuat cincin dari rotan bernama ue wai yang tumbuh di hutan belantara. Meski berat, dengan senang hati Oheo mencari rotan ue wai sambil menggendong anaknya. Ia sangat menyesal telah memperlakukan sang istri dengan sangat buruk. Setelah berhasil membuat banyak cincin, Oheo kembali menemui Suku Tolaki. Kemudian, pemimpin suku itu memintanya memeluk erat-erat sang anak dan duduk di atas cincin-cincin yang terbuat dari ue wai tersebut. Pemimpin Suku Tolaki juga berpesan, “Tutuplah matamu. Jika nanti ada suara pertama, jangan buka mata. Tetaplah tutup matamu da gendong erat-erat anakmu. Jika kau sudah mendengarkan suara kedua, bukalah matamu.” Baca juga Cerita Rakyat Ular Kepala Tujuh dari Bengkulu & Ulasan Menariknya, Bukti Kerendahan Hati dan Keberanian Bisa Mengalahkan Kekejian Tiba di Khayangan Oheo mengikuti saran kepala Suku Tolaki tersebut. Setelah mendengar suara kedua, ia telah berada di khayangan. Keberadaannya pun diketahui oleh salah satu bidadari khayangan. Dengan cepat, bidadari itu melaporkan keberadaan Oheo pada sang Raja. “Tuan, aku melihat seorang pria manusia bersama anaknya di halaman khayangan. Tampaknya, pria itu adalah Oheo yang sempat mencuri selendang Putri Anawai,” ucapnya. Sang Raja terkejut, “Bagaimana bisa ia sampai ke sini? Baiklah, aku akan mengurusnya. Sampaikan pada Putri Anawai bahwa suami dan anaknya datang kemari.” Setelah itu, Raja menemui Oheo. “Wahai manusia, bagaimana kau datang kemari? Apa tujuanmu sebenarnya?” tanya sang Raja. “Mohon maaf, Baginda Raja. Nama saya Oheo, suami dari Putri Anawai kala di bumi. Tujuan kedatatangan saya adalah untuk minta maaf pada Putri Anawai. Dan putra kecil ini adalah anak kami. Ia setiap hari menangis mencari ibunya,” ucap Oheo. “Hmm, pertama-tama, perbuatanmu mencuri selendang anakku, Putri Anawai, itu salah. Kedua, kau tak seharusnya mengkhianati janji kalian. Meski begitu, aku menghargai usahamu untuk beremu dengan anakku,” ucap sang Raja dengan bijak. “Saya mengaku salah, Raja. Saya ke mari hendak meminta maaf dan mengakui segala kesalahan saya. Demi anak kami, saya rela melakukan apa pun asal Putri Anawai mau kembali ke bumi,” ucap Oheo. “Tentu tak semudah itu, Pemuda! Ada syarat yang harus kau penuhi untuk bisa membawa kembali putriku ke bumi. Untuk saat ini, aku melarangmu bertemu dengan anakku,” ucap sang Raja. “Syarat apa yang harus kupenuhi, Baginda Raja?” tanya pemuda itu, “Pertama, kamu harus mampu menumbangkan batu-batu besar di khayangan ini. Kedua, kamu harus memungut bibit pada yang tertabur di padang rumput hingga bersih tanpa tersisa sedikit pun. Terakhir, kamu harus menemukan istrimu di tempat yang sangat gelap. Kalau gagal satu saja ujian, kau akan kukembalikan ke bumi tanpa Putri Anawai,” ucap sang Raja. Menjalankan Setiap Misi Ia berhasil menjalankan misi pertama dan kedua. Hal itu karena ia mendapatkan bantuan dari para hewan di khayangan, seperti tikus dan burung. Namun, ia tak yakin dengan ujian terakhir. “Bagaimana mungkin aku bisa menemukan Putri Anawai di tempat yang gelap gulita?” ucap Oheo dalam hati. Ia merasa misi ketiganya ini tak akan bisa ia selesaikan. Ia pun sedih teringat nasib anaknya yang tumbuh tanpa seorang ibu. Dalam keadaan bingung dan panik, tiba-tiba saja ada seekor kunang-kunang mendatanginya. “Apa yang sedang kau pikirkan? Tampaknya kau sangat bingung,” tanya kunang-kunang itu. “Hai, kunang-kunang. Aku mendapatkan tiga tugas yang sangat berat dari Raja. Kedua tugas sudah kuselesaikan. Kurang satu tugas terakhir yang tampaknya tak bisa kuselesaikan,” ucap Oheo lemas. “Memangnya, apa tugas terakhirmu? Barangkali aku bisa memberimu bantuan,” ucap kunang-kunang. “Aku harus menemukan istriku di sebuah kamar yang gelap gulita. Sedangkan dalam kamar itu terdapat saudara-saudaranya. Mana bisa aku asal pilih wanita. Jika aka salah pilih, bisa-bisa Raja mengembalikanku dan anakku ke bumi tanpa Putri Anawai,” jelas Oheo. “Oh, jadi begitu rupanya. Kamu tidak perlu cemas. Aku akan membantumu,” ucap binatang kecil itu. “Bagaimana caranya kau membantuku?” tanyanya. “Lihatlah ekorku, bercahaya bukan? Nah, aku akan hinggap di setiap wanita yang ada di kamar itu, tugasmu adalah memastikan, wanita mana yang merupakan istrimu,” ujar kunang-kunang. “Wah, ide yang sangat cemerlang kunang-kunang. Terima kasih mau membantuku,” ujar Oheo. Saat malam menjelang, hati Oheo pun makin gelisah. Meski akan mendapatkan bantuan dari kunang-kunang, ia tetap khawatir tidak bisa menyelesaikan misi terakhir. “Ini adalah misi terakhir yang menentukan apakah aku akan berhasil membawa pulang Putri Anawai atau tidak. Jika gagal, sungguh aku teramat kasihan dengan anakku,” ucap Oheo merasa cemas. Menjalankan Misi Terakhir Tibalah saatnya misi terakhir tuk Oheo selesaikan. Ia bersama dengan kunang-kunang memasuki sebuah ruangan yang gelap gulita. Perlahan-lahan, kunang-kunang itu menghinggapi satu persatu wanita yang ada di ruangan itu. Setelah beberapa wanita terlewati, berhasilah Oheo menemukan istrinya. Pria itu tersenyum lebar. Ia langsung memegang tangan istrinya dan berkata, “Putri Anawai, maafkan aku. Aku berjanji tak akan membuatmu membersihkan kotoran anak kita lagi. Kumohon kembalilah. Anak kita menangis mencarimu setiap hari,” ucap Oheo. Karena berhasil menuntaskan ketiga tugas dari Raja, Oheo pun diperbolehkan membawa pulang Putri Anawai. Hanya saja, sang Putri tampak kesal dan agak keberatan. Ia sebenarnya tak ingin kembali ke bumi. Namun, karena Raja telah mengutusnya, mau tak mau Putri Anawai, kembali ke bumi dan tinggal dengan Oheo. Mereka lalu turun ke bumi menggunakan seutas tali. Sesuai dengan janjinya, Oheo selalu membersihkan kotoran anaknya. Ia juga tak lagi membentak sang istri. Untuk mempermudah merawat anak, Oheo membuat pekarangan tebu di sekitar rumahnya. Ia tiap pagi hingga sore bekerja di pekarangan. Ketika si kecil buang air besar, dengan sigap pria itu membersihkannya. Ketulusan hati dan kegigihan Oheo membuat Putri Anawai terkesima. Sang bidadari itu pun lama kelamaan mencintai suaminya. Karena telah cinta, Putri Anawai dengan sukarela membersihkan kotoran anaknya. Ia juga terkadang membantu suaminya bekerja di pekarangan. “Karena telah tinggal di bumi, aku akan hidup layaknya seorang manusia yang bekerja dan saling membantu, Suamiku,” ucapnya pada sang suami. Kini, mereka pun hidup makmur dan bahagia. Hasil perkebunan tebu milik Oheo sangatlah berlimpah. Tak jarang, Raja dan para bidadari lainnya berkunjung ke rumah Oheo dan Putri Anawai. Baca juga Legenda Putri Ular dari Bengkulu dan Ulasannya, Kisah Seorang Putri Cantik yang Berubah Menjadi Ular Unsur Intrinsik Usai membaca cerita rakyat Oheo dan Putri Anawai, kurang lengkap rasanya bila kamu tak menyimak unsur intrinsiknya. Mulai dari tema hingga pesan moralnya, berikut adalah ulasan singkatnya; 1. Tema Inti cerita atau tema cerita rakyat Oheo adalah tentang pernikahan seorang manusia biasa dengan bidadari. Sesuai kesepakatan, bidadari mau menikah dengan manusia. Tapi, manusia itu melanggar janji sehingga bidadari pun murka dan memutuskan tuk kembali ke khayangan. Namun, karena perjuangan si manusia, akhirnya bidadari itu mau kembali ke bumi lagi. 2. Tokoh dan Perwatakan Ada dua tokoh utama dalam cerita rakyat ini, yaitu Oheo dan Putri Anawai. Awalnya, Oheo digambarkan sebagai petani tebu yang tak berperesaan karena tega mengambil salah satu selendang dari para bidadari. Ia bahkan memaksa sang pemilik selendang itu untuk menikah dengannya. Mereka lalu menikah dengan beberapa peryaratan. Akan tetapi, petani tebu ini mengingkari janjinya. Meski begitu, pada akhir cerita Oheo mampu mengubah sikapnya. Ia menjadi pria sejati yang tulus dan gigih mencintai istrinya. Sementara itu, Putri Anawai digambarkan sebagai sosok bidadari yang cantik jelita. Ia mengalami masa yang sulit dan berat karena selendangnya dicuri oleh Oheo. Karena itu, sikapnya menjadi egois dan maunya menang sendiri. Pada akhirnya, ia bersikap baik setelah mendapatkan perlakuan baik dan tulus dari Oheo. Selain mereka berdua, kisah ini juga memiliki tokoh pendukung yang turut mewarnai jalan ceritanya. Ia adalah sang Raja alias ayah dari Putri Anawai. Cerita ini menggambarkan sang Raja sebagai sosok yang bijak dan baik hati. 3. Latar Legenda ini menggunakan beberapa latar tempat. Pada awal cerita, latar yang digunakan adalah hutan, sungai, dan kebun tebu. Lalu, cerita berpindah ke rumah Oheo, tempat Suku Tolaki, dan khayangan. 4. Alur Cerita Rakyat Oheo Cerita rakyat Oheo memiliki alur maju. Kisahnya bermula dari seorang pemuda bernama Oheo yang mengambil selendang bidadari bernama Putri Anawai. Oheo lalu memaksa Putri Anawai untuk menikah dengannya. Dengan syarat tak ingin membersihkan kotoran anaknya, sang bidadari cantik itu mau menikah dengan Oheo. Awalnya, pemuda itu menepati janjinya. Namun, ia melanggar janjinya. Putri Anawai pun murka dan memutuskan tuk pulang ke khayangan, meninggalkan anak dan suaminya. Tentu saja Oheo kelimpungan. Setiap hari anaknya menangis mencari ibunya. Karena itu, pria itu menemui Suku Tolaki untuk meminta bantuan agar bisa pergi ke khayangan untuk bertemu dengan istrinya. Suku Tolaki sanggup membantunya asalkan ia bisa membuat cincin-cincin dari rotan ue wai. Ia pun sanggup memenuhi persyaratan tersebut dan segera naik ke khayangan bersama sang anak. Sesampainya di sana, ia harus menjalankan tiga misi dari sang Raja untuk bisa membawa pulang Putri Anawai. Dibantu oleh beberapa hewan, ia sanggup menyelesaikan ketiga misi tersebut. Meski awalnya keberatan kembali ke bumi, akhirnya Putri Anawai pun luluh dengan kegigihan dan ketulusan hati Oheo. 5. Pesan Moral Apa sajakah pesan moral dari cerita rakyat Oheo dari Sulawesi Tenggara ini? Karena ceritanya cukup panjang, tentu saja ada beberapa pesan moral atau amanat yang bisa kamu petik. Pertama, janganlah mengambil apa yang bukan milikmu. Kamu tak akan tahu betapa berharganya benda tersebut bagi pemiliknya. Jangan seperti Oheo yang mengambil selendang milik Putri Anawai. Padahal, tanpa selendang itu, sang bidadari tak bisa kembali ke asalnya. Amanat kedua, janganlah kamu memaksakan kehendak dan keinginanmu. Ketiga, jangan mudah menyerah. Oheo tak putus asa dan terus berusaha untuk mendapatkan hati Putri Anawai. Ia menyesal telah mengingkari janjinya. Karena itu, ia berjuang mati-matian tuk bisa hidup kembali bersama dengan Putri Anawai. Amanat terakhir, hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha. Karena telah berusaha dengan sepenuh hati, akhirnya Oheo berhasil membawa pulang Putri Anawai. Ketulusan dan kegigihan pria itu juga mampu meluluhkan perasaan Putri Anawai. Selain unsur-unsur intrinsiknya, jangan lupakan juga unsur ekstrinsik yang membangun cerita rakyat Oheo. Unsur ekstrinsik ini biasanya berhubungan dengan nilai moral, sosial, dan budaya. Baca juga Kisah tentang Si Kelingking Asal Jambi dan Ulasan Lengkapnya, Pelajaran untuk Tidak Meremehkan Penampilan Fisik Seseorang Fakta Menarik Kisah ini memiliki beberapa fakta menarik yang sayang untuk kamu lewatkan. Karena itu, yuk, simak langsung saja dua fakta menarik dari cerita rakyat Oheo berikut ini; 1. Ada Versi Cerita Lainnya Seperti cerita rakyat pada umumnya, legenda Oheo juga memiliki beragam versi cerita. Secara garis besar tetap sama, cerita rakyat Oheo mengisahkan tentang seorang pemuda yang mencuri selendang bidadari. Namun, pencurian itu dilakukannya lantaran kesal terhadap burung nuri yang kerap merusak ladang tebu miliknya. Setelah ia teliti asal mulanya, burung-burung nuri itu ternyata datang dari khayangan bersama dengan bidadari-bidadari cantik. Selain itu, perbedaan kisahnya juga terletak pada cara Oheo pergi ke khayangan. Ia tak membuat cincin dari rotan ue wei, melainkan memanjatnya. Rotan itu sangat tinggi sehingga bisa tembus sampai khayangan. Sesampainya di khayangan, kedatangannya tidak disambut dengan baik oleh Raja dan para bidadari. Mereka mengecamnya karena telah mencuri selendang milik Putri Anawai. Namun, karena merasa iba dengan anak Oheo dan Putri Anawai, sang Raja pun mengizinkan putrinya kembali ke bumi. 2. Mirip dengan Kisah Jaka Tarub dari Jawa Jika di Sulawesi Tenggara ada kisah Oheo, di Pulau Jawa populer dengan kisah Jaka Tarub. Kisah dalam kedua cerita rakyat tersebut hampir sama. Jaka Tarub juga mengambil salah satu selendang dari 7 bidadari yang sedang mandi di sebuah danau. Selendang itu ternyata milik Nawangwulan. Jaka Tarub menyembunyikan selendang itu lalu pura-pura menolong Nawangwulan. Setelah itu, mereka menikah dan tinggal bersama, kemudian memiliki momongan. Lambat laun, Nawangwulan menemukan bahwa selendangnya tersembunyi di lumbung padi. Sontak, hal tersebut membuatnya marah besar. Ia pun meninggalkan Jaka Tarub dan anaknya, kemudian kembali ke khayangan. Kadang-kadang Nawangwulan kembali ke bumi untuk menyusui anaknya. Akan tetapi, ia enggan menemui Jaka Tarub. Ia sangat marah dan tak akan pernah memaafkan pria yang telah membohonginya itu. Baca juga Legenda Asal Usul Danau Malawen dan Ulasannya, Sebuah Imbauan untuk Mendengarkan Nasihat Kedua Orang Tua Tambah Wawasan Lewat Cerita Rakyat Oheo dari Sulawesi Tenggara Ini Demikianlah artikel yang membahas tentang cerita rakyat Oheo yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Semoga saja, membaca kisahnya bisa menambah wawasanmu tentang cerita-cerita Nusantara. Dari cerita ini, diharapkan juga kamu dapat memetik beberapa pesan moralnya. Kalau suka dengan kisahnya, bagikan artikel ini ke teman-teman, saudara, adik, atau anakmu. Teruntuk yang butuh kisah lainnya, langsung saja kepoin kanal Ruang Pena di Ada legenda Tanjung Menangis, kisah Putri Tangguk, asal-usul nama Balikpapan, dan masih banyak lagi. Selamat membaca! PenulisRinta NarizaRinta Nariza, lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tapi kurang berbakat menjadi seorang guru. Baginya, menulis bukan sekadar hobi tapi upaya untuk melawan lupa. Penikmat film horor dan drama Asia, serta suka mengaitkan sifat orang dengan zodiaknya. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.
Kamu suka membaca cerita rakyat Nusantara? Dari Sulawesi Selatan, ada kisah yang cukup inspiratif dan menarik tuk dibaca, yakni cerita rakyat La Moelu. Bila ingin membacanya, langsung saja baca artikel berikut ini!Membaca adalah kegiatan positif dan bermanfaat yang bisa kamu lakukan di waktu luang. Untuk lebih mengenal budaya Nusantara, kamu bisa perbanyak membaca legenda atau cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia. Di Sulawesi Tenggara, ada cerita rakyat La Moelu yang kisahnya cukup menarik dan Moelu adalah seorang anak-anak laki yang tinggal bersama ayahnya. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Sedihnya, ayahnya telah berusia senja dan tak bisa lagi mencari bagaimanakah anak yatim tersebut bertahan hidup? Penasaran dengan kisah selengkapnya? Tak perlu berlama-lama lagi, yuk, langsung saja simak cerita selengkapnya di artikel ini! Tak hanya ceritanya saja, ulasan seputar unsur intrinsik, pesan moral, dan fakta menariknya juga telah kami paparkan!Cerita Rakyat La Moelu Pada zaman dahulu, di suatu desa kecil di Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki bernama La Moelu. Saat ia masih bayi, ibunya meninggal sehingga dirinya hanya tinggal dengan ayahnya saja. Sayangnya, sang ayah telah tua renta dan tak bisa mencari nafkah. Jangankan bekerja, untuk berjalan saja ayahnya kesusahan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, La Moelu yang tiap hari harus bekerja keras. Setiap pagi, ia pergi ke hutan tuk mencari kayu bakar yang kan dijualnya ke pasar. Hasil penjualan biasanya ia gunakan untuk membeli beras. Setelah itu, ia pergi ke sungai tuk menangkap ikan buat lauk makan. Pada suatu hari, anak pekerja keras ini telah menyiapkan banyak cacing tanah yang kan ia gunakan sebagai umpan. Setibanya di tepi sungai, ia melihat segerombolan ikan muncul di permukaan sungai. “Wah, banyak sekali ikannya. Tampaknya, hari ini aku bisa mendapatkan banyak ikan. Aku sudah tak sabar ingin segera memancingnya,” ucapnya antusias. Ia bergegas menyiapkan peralatannya memancing. Di sebuah batu dekat tepi pantai, ia duduk dan menjulurkan pancingnya. Ia menunggu ikan memakan umpannya sembari bersiul-siul. Sayangnya, sudah hampir satu jam ia menunggu, tak ada seekor pun yang terperangkap umpannya. “Lah, ke mana perginya ikan-ikan tadi? Jelas-jelas tadi aku melihat mereka bergerombol. Kenapa sekarang tak ada satu pun yang terperangkap pada pancingku,” gumamnya. Hari pun semakin siang. Tapi, tak satu pun ikan berhasil ia tangkap. Sempat ingin menyerah, La Moelu lalu teringat akan ayahnya di rumah. “Kalau menyerah, nanti aku dan ayah makan apa?” ucapnya dalam hati. Baca juga Legenda Asal Usul Burung Cendrawasih dan Ulasannya, Kisah Si Burung Surga yang Mengandung Amanat Bermakna Menangkap Ikan Mungil Alhasil, ia pun tetap memancing dan bersabar menunggu ikan. Beberapa saat kemudian, pancingnya bergetar. Tampaknya, ada ikan yang memakan umpannya. Dengan penuh hati-hati, ia menarik kailnya. Namun, yang berhasil ia tangkap adalah seekor ikan kecil. Meski begitu, La Moelu tetap senang karena ikannya sangat indah. Warnanya oranye dengan ekor meliuk-liuk. “Aku tak akan memakannya. Akan kujadikan ikan ini sebagai peliharaan,” gumamnya dalam hati. Lalu, ia lanjut memancing dan berhasil mendapatkan ikan besar. Karena matahari sudah semakin panas, ia pun pulan dengan hati gembari. Setibanya di rumah, ia memamerkan hasil tangkapannya ke sang ayah. “Ayah, lihatlah! Aku mendapatkan ikan kecil yang sangat bagus,” teriaknya bahagia. “Wah, warnanya sungguh cantik, anakku. Ikan jenis apa ini?” ucap sang ayah terkagum. “Aku juga tak tahu, Yah. Apakah boleh aku memeliharanya, Yah?” tanya sang anak. “Tentu saja boleh. Kalau pun dimakan, ikan ini tak akan membuat kita kenyang,” ujar sang ayah. La Moelu lalu memindahkan ikan tangkapannya itu ke dalam baskom yang berisi air. Ikan itu ia beri makan agar tak kelaparan. Keesekan harinya, ia terkejut karena ikannya telah sebesar baskom. “Ayah, lihatlah! Ikan ini kenapa sudah sebesar ini? Kemarin bukankah sangat kecil? Bagaiamana bisa ia tumbuh begitu cepatnya?” ujarnya kebingungan. Sang ayah pun terkejut. Ia pun tak menyangka bila ikan itu bisa membesar dengan cepatnya. “Segera pindahkan ikannya ke dalam lesung, Nak. Kasihan jika ia merasa kesempitan,” pinta sang ayah. Dengan cepat, La Moelu langsung mengisi lesung dengan air. Ia lalu memindahkan ikannya ke dalam lesung. Setelah memberikan sedikit makanan, ia berkata pada ikan itu, “Kenapa kamu cepat tumbuh, Kan? Apakah kamu ikan ajaib?” Semakin Membesar Keajaiban itu kembali terjadi di keesokan harinya. Ikan yang semula sebesar baskom, kini sebesar lesung. Sontak, hal itu membuat La Moelu dan ayahnya terkejut. Mereka lalu memindahkannya ke tempat yang lebih besar, yakni di dalam guci. Pada hari berikutnya, ikan berwarna oranye itu kembali menghebohkan si anak dan ayahnya. Tubuhnya kembali membesar seukuran dengan wadahnya. Kali ini, La Moelu bingung memindahkannya di mana. Setelah mencari tempat, akhirnya ia menemukan drum besar. Ikan itu lalu ia pindahkan ke dalam drum tersebut. Mereka beranggapan bila hewan tersebut tak akan membesar seukuran drum. Namun, perkiraaan mereka salah. Saat esok tiba, betapa terkejutnya mereka melihat ikan itu sudah memenuhi drum tersebut. Karena khawatir ikan itu terus membesar, pada akhirnya La Moelu membawanya ke laut. Sebelum melepasnya ke laut, ia berpesan pada sang ikan. “Hai, ikan ajaib! Aku memberimu nama Jinnande Teremombonga. Jika kelak aku memanggilmu, datanglah ke tepi laut. Aku akan memberimu makan. Aku tak dapat lagi memeliharamu di rumah, karena tubuhmu terus-terusan membesar,” ujar anak baik itu. Ikan itu pun mengibas-ngibaskan ekornya. Kemudian, La Moelu melepaskannya ke lautan. Ikan itu tampak senang karena dapat bergerak dengan bebas di samudera luas. Sesuai janji, anak kecil itu keesokan harinya datang ke tepi laut. Ia lalu berteriak memanggil nama ikannya, “Jinnande Teremombonga!” Tak berapa lama, Jinnande Teremombonga datang menghampirinya. Ia lalu memberikan ikan itu makanan sembari mengajaknya bicara. “Tubuhmu makin besar saja. Kau tampak makin indah,” ujarnya. Jinnande Teremombonga memberi respon dengan cara mengibas-ngibaskan ekor. Jinnande Teremombonga Terancam Bahaya Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa La Moelu datang ke tepi laut untuk memberi makan Jinnande Teremombonga. Ternyata, ada tiga pemuda yang mengikuti La Moelu. Ketiga pemuda itu rupanya tetangga La Moelu yang penasaran ke mana perginya anak laki-laki ini tiap pagi. Betapa terkejutnya mereka mendapati anak itu sedang memberi makan pada ikan besar. Muncullah niat jahat dalam benak mereka. “Kawan-kawan, bagaimana kalau kita menangkap ikan besar itu? Pasti bakal laku mahal jika kita menjualnya di pasar,” ujar salah satu pemuda paling tua. “Tunggu dulu, jangan gegabah! Kita tunggu dulu anak kecil itu pulang. Barulah kita menangkap ikan raksasa,” ujar pemuda lain. Setelah La Moelu pergi, ketiga pemuda itu mendekati tepi laut. Akan tetapi, mereka tak tahu bagaimana caranya mendapatkan ikan besar itu. “Tampaknya, ikan itu tak akan mendekati kita. Tapi, bagaimana cara membuatnya ke tepi laut?” ujar salah satu pemuda. “Hmm, tampaknya kita harus kembali lagi besok pagi dan mengamati apa yang anak kecil itu lakukan untuk memanggil ikannya,” ucap pemuda paling tua. Akhirnya, mereka pun pulang dengan tangan kosong. Keesokan harinya, mereka kembali mendekati La Moelu. Kali ini, mereka memperhatikan dengan seksama gerak-gerik La Moelu. Akhirnya, mereka tahu cara memanggil hewan raksasa itu. Usai memberi makan, La Moelu bergegas pergi karena ia harus segera ke pasar dan ke sungai tuk memancing ikan. Kemudian, ketiga pemuda itu mendekat ke tepi laut. Mereka lalu berteriak memanggil Jinnande Teremombonga. “Jinnande Teremombonga! Datanglah kemari!” ucap pemuda lainnya. Tak lama kemudian, Jinnande Teremombonga datang ke tepi laut. Namun, saat melihat orang yang memanggilnya bukanlah Moelu, Jinnande Teremombonga langsung kembali pergi menjauh. “Hah? Kenapa ikan itu pergi lagi?” tanyanya. “Mungkin, dia takut padamu! Coba aku saja yang memanggilnya,” ucap salah satu pemuda. “Jinnande Teremombonga! Kemarilah!” teriaknya. Ikan itu datang mendekat, tapi mendapati yang datang bukanlah tuannya, ia kembali menghindar. Saat pemuda terakhir mencoba memanggilnya, hal itu terjadi lagi. Sampai akhirnya, mereka pun mengatur strategi. Upaya Menangkap Jinnande Teremombonga Setelah berdiskusi sekian lama, akhirnya ketiga pemuda itu menemukan rencana. Salah satu dari mereka akan memanggil Jinnande Teremombonga, saat tiba di tepi laut, kedua pemuda lainnya akan menangkapnya dengan tombak. Dan ternyata, rencana mereka berhasil. Ketika Jinnande Teremombonga tiba di tepi laut, kedua pemuda itu langsung menghunus perutnya dengan tombak. Meski sempat mencoba melawan, Jinnande Teremombonga akhirnya kalah dan mati. Dengan teganya, para pemuda itu lalu memotong-motong Jinnande Teremombonga dan membagi rata. Lalu, mereka membawa sebagian ikan ke pasar dan menjualnya. Sisanya mereka bawa pulang ke rumah masing-masing. Keesokan harinya, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan temannya. Tentunya, ia belum tahu nasib buruk yang menimpa ikan kesayangannya itu. Ia memanggilnya berulang kali, tapi ikan itu tak kunjung datang. “Jinnande Teremombonga, kenapa kau tak kunjung mendatangiku? Apa kau tak lapar? Ada apa denganmu?” ucapnya cemas. Sudah cukup lama ia menanti temannya itu. Ia berkali-kali memanggilnya, tapi tak kunjung ada yang mendekat. Bahkan, ia memanggilnya lebih keras, tapi Jinnande Teremombonga tak kunjung datang. La Moelu pun mulai cemas. Ia khawatir bila ada suatu hal buruk yang menimpa kawannya. “Ke mana perginya dirimu? Jangan-jangan ada suatu hal buruk yang menimpamu?” gumamnya dalam hati. Hingga sore tiba, Jinnande Teremombonga tak kunjung menampakkan diri. Karena lelah, ia memutuskan tuk pulang. Dengan raut wajah sedih dan kecewa, La Moelu menceritakan kesedihannya pada sang ayah. Tetangga yang Jahat Saat malam datang, tiba-tiba saja La Moelu menghirup aroma sedap ikan goreng. Sontak, hal itu membuatnya teringat akan Jinnande Teremombonga. Ia bergegas dari tempat tidurnya dan mendatangi sumber aroma. Aroma sedap itu berasal dari rumah tetangganya. Ia pun mengunjungi rumah itu untuk memastikan ikan jenis apakah yang mereka goreng. Saat mendatangi rumah tetangganya, ia disambut dengan pemuda paling tua yang tadi pagi menangkap Jinnande Teremombonga. “Oh hai, pria kecil. Apa yang membuatmu datang kemari?” tanyanya. “Aku mencium aroma sedap ikan goreng dari rumahku. Apakah kamu yang sedang menggorengnya?” tanya La Moelu. “Wah, ternyata aromanya menyebar hingga ke rumahmu, ya. Iya, benar sekali. Saudaraku sedang menggoreng ikan. Kau mau?” jelas pemuda itu. “Tidak, terima kasih. Aku hanya penasaran, ikan jenis apa yang kalian goreng?” tanyanya penasaran. “Hanya ikan biasa. Kenapa?” jawab pemuda itu cemas. Ia nampaknya takut ketahuan bahwa ikan yang digorengnya sebenarnya adalah Jinnande Teremombonga. “Apakah ikannya besar? Apakah kau menangkapnya di lautan?” tanya La Moelu mendesak pemuda itu. Karena merasa terdesak, akhirnya pemuda itu membuat pengakuan. “Iya, kamu benar. Ikannya berukuran besar dan aku menangkapnya di lautan. Memangnya kenapa hai anak yatim?” ucapnya dengan nada mengejek. Betapa sakit hati La Moelu mendengar ucapan tersebut. Lalu, pemuda itu memberinya tulang Jinnande Teremombonga. “Ini aku berikan tulang ikannya. Karena dagingnya sebagian sudah kujual dan sisanya akan kami makan. Anggap saja ini kenang-kenangan buatmu,” ucapnya. Tentu saja La Moelu menerima tulang ikan itu. Sepanjang jalan, ia menangis tersedu. Ia tak menyangka teman yang ia rawat selama ini dimakan oleh tetangganya sendiri. Ayahnya lalu meminta La Moelu untuk mengubur Jinnande Teremombonga di belakang rumah mereka. Ia pun menuruti kata sang ayah. Karena masih bersedih, ia pun menangis di atas makam Jinnande Teremombonga. Sebuah Keajaiban Terjadi Keesokan harinya, La Moelu hendak memberikan sedikit air pada makam Jinnande Teremombonga. Ia tak ingin temannya kekeringan. Namun, betapa terkejut dirinya mendapati makam temannya ditumbuhi oleh pohon ajaib. Pohon itu berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian. Karena terkejut, La Moelu pun berteriak, “Ayah, ayah! Kemarilah, Yah! Lihatlah pohon ini.” Sang ayah langsung mengambil tongkatnya dan berjalan ke belakang rumah. Alangkah terkejut dirinya memandang pohon itu. “Ini adalah berkah yang Tuhan berikan karena kamu telah merawat Jinnande Teremombonga dengan baik. Rawatlah pohon ini sebagaimana kamu merawat temanmu Jinnande Teremombonga,” ucap sang ayah dengan bijak. Sesuai perintah ayahnya, La Moelu merawat pohon itu dengan baik. Setiap pagi, ia menyirami dan memotong rumput-rumput di sekitar pohon itu. Sesekali, ia mengajaknya ngobrol. La Moelu menganggapnya seperti teman sendiri. Semakin hari, pohon itu semakin besar. Daun dan buahnya mulai berguguran. La Moelu mengambil daun-daun dan bunga itu lalu menjualnnya ke pasar. Tentu saja hal itu membuat ia dan ayahnya menjadi kaya raya. Meski begitu, mereka tak tamak. Ketika ada tetangganya yang mengalami kesulitan, mereka dengan senang hati membantu. Mereka juga tak gelap mata. Meski bisa menghasilkan banyak uang, mereka tak akan memetik bunga, daun, atau buah sebelum berguguran sendiri dari pohonnya. Suatu hari, ketiga pemuda yang dulu menangkap dan membunuh Jinnande Teremombonga datang ke rumah La Moelu. Mereka meminta maaf pada anak kecil itu. Bagaimana tidak, mereka ternyata sakit-sakitan setelah memakan daging Jinnande Teremombonga. Tubuh mereka gatal dan bersisik. Uang hasil penjualan ikan itu pun tak cukup buat berobat. Dengan ketulusan hati, La Moelu memaafkan mereka. Ia juga berpesan pada mereka agar tak mengambil lagi milik orang lain. Baca juga Cerita Rakyat Asal-Usul Ikan Pesut Mahakam dan Ulasan Menariknya, Sebuah Pelajaran Bagi Orang Tua Unsur Intrinsik Setelah membaca cerita rakyat La Moelu, apakah kamu penasaran dengan unsur intrinsiknya? Buat yang penasaran dengan ulasan seputar tema hingga pesan moralnya, langsung saja baca informasi di bawah ini; 1. Tema Inti cerita atau tema dari cerita rakyat La Moelu adalah tentang kasih sayang antar sesama makhluk hidup. Dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, seorang anak laki-laki merawat ikan hasil tangkapannya. Meski telah dibebaskan di lautan, ia tetap memberi makan ikannya itu. Tak hanya itu saja, legenda ini juga mengisahkan tentang seorang anak yang pekerja keras. Meski hidup tanpa seorang ibu dan harus merawat ayahnya yang sudah tua, ia tak pernah mengeluh. 2. Tokoh dan Perwatakan Tokoh utama dalam cerita rakyat ini adalah La Moelu dan ayahnya. La Moelu digambarkan sebagai anak kecil yang tangguh dan pekerja keras. Meski kehidupannya mengalami kesulitan, ia tak pernah mengeluh. Ayahnya juga memiliki sifat yang tak kalah baik. Ia merupakan sosok ayah yang bijak dan pengertian. Hanya saja, ia sudah berusia senja sehingga tak kuasa untuk membantu anaknya bekerja. Dalam kisah ini juga terdapat tokoh antagonis, yakni tiga pemuda bersaudara yang merupakan tetangga La Moelu. Mereka adalah pembuat konflik dalam kisah ini yang digambarkan bersikap dingin, jahat, dan tidak punya hati nurani. 3. Latar Legenda yang berasal dari Sulawesi Tenggara ini menggunakan beberapa latar tempat. Beberapa di antaranya adalah rumah La Moelu, sungai tempat ia memancing, rumah tetangganya, dan belakang ruma 4. Alur Cerita Rakyat La Moelu Menceritakan plot dari awal hingga akhir secara berurutan, cerita rakyat La Moelu ini memiliki alur maju. Cerita bermula dari seorang anak yatim piatu yang tak sengaja menangkap ikan kecil. Ia memutuskan untuk memelihara ikan kecil itu. Namun, semakin hari, tubuh hewan tersebut semakin membesar. Akhirnya, La Moelu melepasnya ke lautan luas. Sebelum melepasnya, ia memberi nama ikannya Jinnande Teremombonga. Tiap pagi, ia memanggil Jinnande Teremombonga dan memberinya makan. Sayangnya, Jinnande Teremombonga ditangkap dan dibunuh oleh tetangga La Moelu. Mereka memakan dan menjualnya. Tentu saja La Moelu bersedih mendapati ikannya telah mati. Ia lalu membawa tulang temannya itu ke rumah dan menguburnya. Keeseokan harinya, keajaiban pun terjadi. Tulang ikan tersebut berubah menjadi pohon ajaib yang mengubah kehidupan La Moelu dan ayahnya. 5. Pesan Moral Setiap cerita rakyat Nusantara memiliki amanat atau pesan moral. Tak terkecuali cerita rakyat La Moelu. Kira-kira, apa sajakah pesan moral yang bisa kamu petik dari legenda ini? Tentu saja ada beberapa pesan moral, salah satunya adalah jadilah pekerja keras seperti La Moelu. Meski masih kecil, ia berkewajiban untuk menghidupi dirinya sendiri dan ayahnya. Setiap hari, ia mencari ikan tuk dimakan dan kayu bakar tuk dijualnya. Meski kehidupannya berat, ia tak pernah mengeluh. Dari tokoh utama ini, belajarlah untuk menyayangi seseama ciptaan Tuhan. Ia dengan baik dan hati-hati menjaga serta merawat Jinnande Teremombonga yang merupakan ikan peliharaannya. Cerita ini juga mengajarkan kamu untuk selalu berbakti dan menuruti perkataan orang tua. La Moelu selalu meminta izin dan pendapat dari ayahnya, serta menuruti nasihatnya. Ia tak pernah sekali pun membantah sang ayah. Berikutnya, jadilah orang yang sederhana dan tak tamak. Meski memiliki pohon berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian, La Moelu dan ayahnya tidak sombong. Mereka justru kerap membantu tetangga yang sedang mengalami kesulitan. Pesan terakhir adalah jangan mengambil apa pun yang bukan milikmu, seperti yang dilakukan tiga pemuda dalam legenda ini. Karena mencuri ikan milik La Moelu, mereka pun terkena penyakit yang tak kunjung sembuh. Selain unsur-unsur intrinsiknya, jangan lupakan juga unsru ekstrinsik yang membangun cerita rakyat La Moelu. Unsur ekstrinsik ini biasanya berhubungan dengan nilai moral, sosial, dan budaya. Baca juga Cerita Rakyat Ular Kepala Tujuh dari Bengkulu & Ulasan Menariknya, Bukti Kerendahan Hati dan Keberanian Bisa Mengalahkan Kekejian Fakta Menarik Tak banyak fakta menarik yang dapat diulik dari cerita rakyat La Moelu ini. Berikut adalah ulasan singkatnya; 1. Ada Versi Cerita Lainnya Legenda atau cerita rakyat memang umumnya memiliki beberapa versi cerita. Begitu pula dengan cerita rakyat La Moelu. Ada satu versi cerita yang mengisahkan bahwa La Moelu tidak menghampiri rumah tetangganya yang menangkap Jinnande Teremombonga. Ia melihat sendiri tetangganya itu sedang menangkap Jinnande Teremombonga di laut. Tubuhnya yang terlalu kecil tak kuasa melawan tiga pemuda yang merupakan tetangganya itu. Bahkan, di depan matanya sendiri, La Moelu menyaksikan ikannya dimakan oleh ketiga pemuda tersebut. Tak ada hentinya anak kecil itu menangisi temannya. Usai memakan Jinnande Teremombonga, ketiga pemuda itu pun pergi meninggalkan tulang belulang. Dengan hati yang terluka, La Moelu mengumpulkan tulang ikan itu dan menguburnya di halaman rumah. Saat air matanya menetes di kuburan ikannya, tiba-tiba saja sebuah pohon tumbuh dari tanah itu. Ajaibnya, pohon itu berbatang emas dan berdaun perak. Baca juga Kisah tentang Si Kelingking Asal Jambi dan Ulasan Lengkapnya, Pelajaran untuk Tidak Meremehkan Penampilan Fisik Seseorang Suka dengan Cerita Rakyat La Moelu? Nah, inilah akhir dari artikel yang membahas cerita rakyat La Moelu beserta unsur intrinsiknya. Apakah kamu suka dengan kisahnya? Kalau suka, jangan ragu tuk membagikan artikel ini pada teman-temanmu, ya. Kalau kamu masih butuh kisah lainnya, langsung saja cek kanal Ruang Pena pada Ada cerita legenda Oheo, kisah Putri Gading cempaka, asal usul Danau Toba, dan masih banyak lainnya. Selamat membaca! PenulisRinta NarizaRinta Nariza, lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tapi kurang berbakat menjadi seorang guru. Baginya, menulis bukan sekadar hobi tapi upaya untuk melawan lupa. Penikmat film horor dan drama Asia, serta suka mengaitkan sifat orang dengan zodiaknya. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.
Cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara cocok untuk dijadikan sebagai pengantar tidur anak-anak. Namun, apakah kamu familier dengan ceritanya? Kalau belum, kamu bisa langsung menyimat informasi lengkapnya dalam artikel ini. Yuk, langsung cek saja!Indonesia kaya akan dongeng untuk anak-anak yang diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satunya adalah cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara. Meskipun belum banyak orang yang tahu, tapi legenda anak laki-laki dari Pulau Sulawesi itu sebenarnya mengandung pesan moral yang bagus untuk artikel ini, terdapat uraian lengkap mengenai kisah La Sirimbone beserta unsur-unsur intrinsiknya. Selain itu ada juga pembahasan seputar fakta menarik yang barangkali bisa menjadi wawasan Penasaran ingin mengetahui secara lengkap cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara? Tanpa perlu menunggu lama, kamu bisa langsung menyimak ulasannya di bawah ini!Cerita Rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita bernama Wa Roe dengan anak laki-laki tunggalnya bernama La Sirimbone. Suami Wa Roe sendiri telah meninggal dunia ketika putranya masih kecil. Ibu dan anak ini tinggal di sebuah gubuk di pinggir desa. Wa Roe merupakan wanita mandiri yang berusaha sebaik mungkin untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama anak laki-lakinya. Meskipun tidak dibesarkan dengan peran dari seorang ayah, La Sirimbone tetap tumbuh menjadi anak laki-laki yang baik hati, suka menolong, dan patuh kepada orangtua. Pada suatu hari, desa di mana Wa Roe dan La Sirimbone tinggal kedatangan pedagang kain laki-laki bernama La Petamba. Laki-laki itu berjualan dari satu rumah ke rumah lainnya. Saat tiba di rumah gubuk Wa Roe, ia sangat terkejut karena mendapati perempuan yang cantik jelita. “Aku tidak menyangka bisa berjumpa dengan wanita cantik jelita di rumah gubuk ini,” gumam La Petamba dalam hati. Laki-laki itu pun dengan gugup menawarkan kain-kain dagangannya kepada janda beranak satu tersebut. “Silakan dibeli kain-kain dagangan saya. Kain-kain ini kualitasnya bagus dengan harga yang tidak terlalu mahal,” jelas La Petamba. “Maaf, saya tidak bisa membeli kain-kain Tuan. Saya tidak memiliki uang,” jawab Wa Roe. La Petamba yang mendengar penjelasan Wa Roe kemudian mohon diri untuk berjualan ke rumah-rumah penduduk lainnya. Selama mengunjungi dari satu rumah ke rumah lainnya, pedagang kain itu tidak bisa berhenti membayangkan kecantikan wajah Wa Roe. Ketika hari mulai gelap, La Petamba segera mengemasi dagangan kainnya dan kembali pulang ke rumahnya di negeri seberang. Di rumahnya, ia masih tetap memikirkan tentang Wa Roe. Laki-laki itu pun membulatkan tekad untuk mempersunting Wa Roe. Pernikahan La Petamba dan Wa Roe Keesokan harinya, La Petamba kemudian kembali ke desa tempat Wa Roe tinggal. Tidak untuk berjualan, laki-laki berniat menghadap ke para sesepuh desa agar bisa mendapat restu untuk menikahi Wa Roe. Selain itu, ia juga meminta pertolongan para sesepuh untuk menemaninya ke rumah Wa Roe. Wa Roe yang sedang sibuk membersihkan rumah terkejut dengan kedatangan rombongan para sesepuh desa dengan pedagang kain yang mengunjungi rumahnya kemarin. Ia lalu mengesampingkan urusannya untuk menerima para tamu tersebut. “Sebelumnya, kami minta maaf Wa Roe karena sudah bertamu dengan tiba-tiba tanpa memberitahumu dahulu. Kedatangan kami di sini adalah hendak menyampaikan niat La Petamba yang ingin menikahimu,” ujar salah satu sesepuh desa. Wa Roe yang mendengar penjelasan sesepuh desa menjadi terdiam sejenak. Ia sebenarnya tidak menyangka kalau La Petamba ingin menikahinya karena mereka baru bertemu satu kali dan belum mengenal satu sama lain. Sebenarnya, Wa Roe tidak terlalu mempermasalahkan soal pernikahan karena ia lebih memikirkan nasib putra semata wayangnya, La Sirimbone. Setelah terdiam cukup lama, wanita itu akhirnya mengambil keputusan untuk menjawab pinangan La Petamba. “Baiklah. Aku bersedia menjadi istri La Petamba, tapi dengan syarat ia mau menerima dan mencintai anakku, La Sirimbone, sebagaimana anak kandungnya sendiri,” jawab Wa Roe. Setelah mendengar jawaban Wa Roe, perwakilan dari sesepuh desa pun bertanya kepada La Petamba. Mereka ingin tahu apakah laki-laki itu bersedia menerima persyaratan dari Wa Roe. “Bagaimana, La Petamba? Apakah kamu bersedia memenuhi persyaratan dari Wa Roe?” tanya sang sesepuh. “Aku bukanlah laki-laki yang membenci anak. Aku menyanggupi persyaratan Wa Roe dan berjanji akan menyayangi La Sirimbone seperti anak kandungku sendiri,” ucap La Petamba dengan penuh keyakinan. Mendengar janji dari La Petamba, Wa Roe tersentuh hatinya. Wanita itu lalu menerima pinangan La Petamba dan merencanakan kapan pernikahan itu akan dilaksanakan. Acara pernikahan yang disaksikan oleh para sesepuh dan warga desa itu berjalan dengan lancar. Baca juga Kisah Rapunzel Si Putri Rambut Panjang Versi Grimm Bersaudara dan Ulasan Lengkapnya Awal Mala Petaka Hidup La Sirimbone Kehidupan rumah tangga La Petamba dan Wa Roe berjalan dengan lancar dan dipenuhi dengan kebahagiaan. Setelah seharian berkeliling ke kampung-kampung untuk menjual kain dagangannya, laki-laki itu seringkali membawa oleh-oleh untuk La Sirimbone. Sayangnya, perlakuan baik yang ditunjukkan oleh La Petamba kepada La Sirimbone ternyata hanya berlangsung selama satu bulan. Entah mengapa, tiba-tiba saja laki-laki itu berubah sikap dan membenci kehadiran anak tirinya. Dikisahkan dalam cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara bahwa La Petamba hampir setiap hari memarahi dan memukulnya padahal anak laki-laki itu tidak melakukan kesalahan apa pun. Bahkan, laki-laki itu sampai dengan teganya menyuruh Wa Roe untuk membuang La Sirimbone ke tengah hutan. “Bang, kenapa kamu tega sekali dengan anakku. Bukankah kamu sudah berjanji untuk menyayangi La Sirimbone seperti anak kandungmu sendiri?!” teriak Wa Roe tidak terima ketika melihat putranya dipukuli terus-terusan. “Persetan dengan janji yang aku ucapkan di masa lalu. Aku hanya menyanggupi permintaanmu supaya bisa menikahimu,” balas La Petamba dengan nada marah. Melihat sikap suaminya yang tidak bisa dikontrol, Wa Roe segera menyelamatkan La Sirimbone dan mempersiapkan perbekalan untuk anaknya. Sembari menitikkan air mata, wanita ini sudah bertekad akan mengungsikan putranya ke tengah hutan supaya bisa selamat dari amukan La Petamba. Keesokan harinya, Wa Roe dan La Sirimbone pergi ke hutan. Ibu dan anak itu menempuh perjalanan yang jauh karena melalui lembah dan gunung. Setelah tiba di hutan yang lebat dan sepi, Wa Roe pun menyampaikan pesan kepada putra tercintanya. “Maafkan ibu, Anakku. Ibu terpaksa meninggalkanmu di hutan ini supaya kamu tidak lagi menjadi sasaran kemarahan ayah tirimu,” ucap Wa Roe sembari memberikan perbekalannya kepada La Sirimbone. “Tapi, bu. Bagaimana dengan nasibku? Aku tidak mau berpisah dengan ibu,” balas La Sirimbone sambil menangis. “Kuatkan dirimu. Pergilah sendiri melewati lembah dan gunung! Jagalah dirimu baik-baik karena ibu akan selalu mendoakan keselamatanmu,” ujar Wa Roe sambil berpamitan kepada anaknya. Perjumpaan La Sirimbone dengan Raksasa Perempuan La Sirimbone hanya melihat kepergian ibunya dengan tatapan nanar. Ia pun kemudian segera mengusap air matanya dan kembali menyusuri hutan. Sembari membawa bekal pemberian ibunya, La Sirimbone mengamati jalanan hutan yang ia lewati. Setelah berjalan cukup lama, La Sirimbone menemukan tapak kaki manusia yang sangat besar. Anak laki-laki itu lalu mengikuti tapak kaki raksasa tersebut. Saat sudah berjalan cukup jauh, ia tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh. La Sirimbone yang memiliki rasa penasaran tinggi pun mendekati sumber suara gemuruh itu. Ketika sudah sampai, ia melihat seorang raksasa perempuan yang sedang sibuk menumbuk. Tubuh anak laki-laki itu tiba-tiba bergetar ketakutan dan tanpa sadar mendekap kaki sang raksasa. “Hei, anak manusia! Kamu siapa dan kenapa bisa berada di tengah hutan ini?” tanya raksasa perempuan itu. Dengan tubuh yang masih gemetar ketakutan, La Sirimbone pun menjelaskan kepada raksasa perempuan itu siapa dirinya dan bagaimana ia bisa sampai di tengah hutan. Tak disangka, ternyata raksasa perempuan itu merasa iba dengan apa yang dialami La Sirimbone. “Kasihan sekali, kamu. Baiklah. Kamu boleh tinggal di rumahku untuk sementara waktu. Tapi, kamu harus masuk ke dalam kurungan,” jelas sang raksasa. “Huh? Kenapa aku harus dimasukkan ke dalam kurungan?” tanya La Sirimbone. “Aku memasukkanmu ke dalam kurungan itu untuk kebaikanmu sendiri, La Sirimbone. Di hutan ini ada raksasa laki-laki yang berkeliaran mencari mangsa. Aku hanya berusaha melindungimu,” terang raksasa perempuan itu. La Sirimbone menuruti perintah sang raksasa setelah mendengar penjelasan ada raksasa lain yang bisa mengincarnya sebagai mangsa. Setiap hari, raksasa wanita itu memberikan makanan kepada La Sirimbone dalam kurungan sampai anak laki-laki tersebut tumbuh dewasa. Perjalanan La Sirimbone Menyusuri Hutan Pada suatu hari, La Sirimbone meminta izin kepada raksasa perempuan untuk keluar dari kurungan karena ia merasa jenuh. Sang raksasa itu mengizinkannya untuk keluar dan memberikan panah sebagai perlindungan diri. Dikisahkan dalam cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara, ia pun memanfaatkan waktunya di hutan untuk berburu beragam jenis hewan. Benar saja, laki-laki itu dengan cepat belajar bagaimana caranya berburu dengan panah dan berhasil membawa pulang banyak hewan ke rumah sang raksasa. Melihat La Sirimbone yang berhasil pulang dengan selamat, raksasa wanita itu bisa mengurangi kekhawatirannya atas keselamatan laki-laki tersebut. Maka dari itu, bukan hal yang mengagetkan bila raksawa perempuan tersebut kembali mengizinkan La Sirimbone untuk keluar rumah. Berbekal dengan bubu alat penangkap ikan buatan sang raksasa wanita, La Sirimbone kemudian pergi ke sungai untuk mencari ikan. Setelah dipasang cukup lama, betapa bahagia laki-laki itu karena banyak ikan yang masuk dalam bubu-nya. Ia pun kembali memasang bubu supaya bisa diambil esok hari. Besoknya, La Sirimbone mengecek bubu yang telah ia pasang di sungai. Sayangnya, ia tidak mendapatkan hasil yang memuaskan karena tidak ada satu pun ikan yang terperangkap dalam bubu-nya. “Kenapa bisa tak ada satu pun ikan yang terjebak dalam bubu-ku? Aneh sekali,” ucap La Sirimbone dalam hati. Ia kembali memasang bubu-nya dan pulang ke rumah. Keesokan harinya, kemarahan menyelimuti La Sirimbone karena ia melihat ikan-ikan hasil tangkapannya ternyata diambil oleh jin. Laki-laki itu kemudian menyerang jin yang mencuri ikan-ikannya. Perkelahian cukup sengit terjadi antara La Sirimbone dan jin tersebut. Baca juga Cerita Putri Serindang Bulan dan Ulasan Menariknya, Pelajaran tentang Menjaga Persaudaraan Jimat Cincin dan Kalung yang Menambah Kesaktian La Sirimbone Pada akhirnya, La Sirimbonelah yang keluar sebagai pemenang karena ia berhasil menangkap jin itu. Ia tidak mau melepaskan makhluk gaib itu sampai jin tersebut berjanji akan memberikan jimat kepadanya bila dibebaskan. “Lepaskan aku. Aku berjanji akan memberikan jimat dalam bentuk cincin yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit dan bahkan dapat menghidupkan kembali orang mati,” pinta jin itu dengan nada memelas. “Baiklah. Aku akan membebaskanmu,” jawab La Sirimbone. Setelah bebas, jin itu memberikan cincin kepada La Sirimbone sesuai dengan janjinya dan kemudian menghilang. Laki-laki itu lalu mengambil keputusan untuk pulang ke rumah raksasa perempuan. Ketika tengah menyusuri tepi sungai, La Sirimbone menyaksikan kejadian ajaib di depan matanya. ia melihat seekor babi yang mampu berjalan di atas air. Karena takjub, laki-laki itu pun memanggil sang babi. “Hei, babi! Bagaimana bisa kamu berjalan di atas air?” tanya La Sirimbone dengan terheran-heran. “Aku bisa berjalan di atas air karena jimat kalung yang ada di leherku ini,” jawab babi itu dengan bangga. “Apakah kamu memberikan jimatmu itu padaku?” pinta La Sirimbone dengan nada penuh harap. Setelah mendengar permintaan dari manusia itu, si babi terdiam sejenak. Hewan itu lalu mendekati La Sirimbone dan memberikan jimat kalungnya. “Baiklah. Aku berikan jimatku kepadamu karena aku sudah tidak begitu sering menggunakannya lagi,” jawab babi itu sambil menyerahkan jimatnya. La Sirimbone menerima jimat dari babi itu dengan senang hati. Ia lalu mengalungkan jimat itu ke lehernya dan mencoba berjalan di atas air sungai. Benar saja, laki-laki itu dapat berjalan layaknya di daratan. Pertunjukan Kemampuan La Sirimbone Ketika tengah sibuk berjalan-jalan di atas air sungai, La Sirimbone berjumpa dengan seorang nelayan yang sedang menangkap ikan. Anehnya, nelayan itu tidak menggunakan alat pancing atau jaring ikan, melainkan senjata pedang kecil. “Pak Nelayan, senjata apa yang kamu gunakan untuk mencari ikan itu?” tanya La Sirimbone. “Aku menggunakan sebuah keris pusaka yang dapat menikam sendiri jika diperintah,” jawab nelayan itu. Mendengar penjelasan Pak Nelayan, dikisahkan dalam cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara bahwa laki-laki itu pun menjadi tertarik dengan keris sakti tersebut. Ia lalu mencoba bertanya ke nelaya itu apakah keris itu bisa diberikan kepadanya. Nelayan itu berpikir cukup lama sebelum akhirnya menyetujui permintaan La Sirimbone. La Sirimbone kemudian memutuskan untuk pulang setelah menerima pemberian keris dari Pak Nelayan. Di tengah perjalanan, ia berjumpa dengan rombongan orang-orang yang tengah membawa jenazah. Laki-laki itu lalu meminta izin kepada para rombongan untuk membuktikan kemampuan jimat cincin yang ia terima dari jin di sungai. Setelah menggosok-gosokkan cincin ke pusar jenazah, orang yang telah mati benar-benar kembali hidup. Rombongan pengantar jenazah itu menatap La Sirimbone dengan takjub. Ketika rombongan masih mencoba mencerna kejadian ajaib di depan mata mereka, laki-laki itu pamit pulang ke rumah raksasa perempuan. Sesampainya di rumah, ia segera menceritakan semua kejadian yang di alaminya hari ini kepada sang raksasa. Baca juga Cerita Hikayat Asal Usul Tanjung Lesung Beserta Ulasannya yang Menarik Disimak! Pertemuan dengan Wa Ngkurorio Pada keesokan harinya, La Sirimbone kembali meminta izin kepada raksasa perempuan untuk pergi berburu binatang ke area hutan yang lebih jauh. Karena merasa La Sirimbone sudah mempunyai jimat dan senjata pusaka, raksasa perempuan itu melepas kepergian laki-laki itu tanpa rasa khawatir. La Sirimbone kemudian menyusuri kawasan lembah dan sungai yang ada di hutan tersebut. Tak terasa, ia sudah berjalan jauh dari tempat asalnya dan sampai di sebuah perkampungan. Karena kehausan, ia memberanikan diri untuk mendekati rumah yang pintunya sedang terbuka. “Permisi! Apakah ada orang di dalam rumah ini?” tanya La Sirimbone dengan nada hati-hati. Tiba-tiba saja, keluarlah seorang gadis cantik dari dalam rumah. La Sirimbone tentu saja merasa terkejut karena ia mengira akan disambut oleh orangtua. Sayangnya, wajah perempuan itu terlihat sedang gelisah dan murung. “Maaf kalau kehadiranku mengganggumu. Bolehkah aku meminta seteguk air minum?” pinta La Sirimbone. “Boleh. Silakan duduk dulu, aku akan mengambilkan air untukmu,” jawa gadis itu seraya masuk ke dapur. Tanpa menunggu lama, perempuan itu membawa segelas air putih dan menyodorkannya ke La Sirimbone. Laki-laki itu pun menyampaikan rasa terima kasihnya dan meneguk air minum tersebut. “Perkenalkan, namaku La Sirimbone. Aku hanyalah seorang pemburu yang kebetulan lewat di kampung ini untuk berburu di hutan dekat daerah sini. Apakah aku boleh tahu siapa namanu?” tanya La Sirimbone. “Namaku Wa Ngkurorio,” jawab perempuan itu dengan suara lirih. “Maaf kalau kamu tidak keberatan, kenapa kamu tampak sedih dan murung?” tanya laki-laki itu dengan penuh perhatian. “Aku sedih karena sebentar lagi aku akan mati,” jawab gadis itu dengan nada sedih. “Kamu mau mati? Apa maksudmu, Wa Ngkurorio?” tanya La Sirimbone dengan penuh kebingungan. “Aku sedang menunggu giliran untuk menjadi mangsa seekor ular naga yang sebelumnya telah memakan 7 orang saudaraku. Sekarang aku hanya hidup bersama ayah dan ibuku saja,” ujar Wa Ngkurorio. “Maka dari itu, sebaiknya kamu segera meninggalkan tempat ini kalau kamu tidak mau dimakan oleh ular naga itu,” lanjut perempuan itu. Pertarungan dengan Ular Naga yang Memangsa Penduduk Desa “Kamu tidak perlu khawatir. Ular naga itu tidak akan memakan kita karena aku akan melawannya dengan senjata pusakaku,” jawab La Sirimbone sembari mengeluarkan keris pusaka dari balik bajunya. “Tapi La Sirimbone, ular naga itu tubuhnya sangat besar dan berperilaku ganas. Meskipun seluruh penduduk kampung di sini melawannya, mereka tetap tak sanggup mengalahkan monster itu,” ujar Wa Ngkurorio dengan rasa khawatir. “Tenang saja. Kamu tidak perlu cemas. Kerisku ini sakti, kok. Aku yakin bisa mengalahkan naga itu,” jawab La Sirimbone dengan penuh keyakinan. La Sirimbone dan Wa Ngkurorio duduk dan menunggu kedatangan sang ular naga. Benar saja, ular naga itu datang ke rumah Wa Ngkurorio pada sore hari. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, La Sirimbone segera menyuruh kerisnya untuk menikam monster itu. Dengan secepat kilat, keris pusaka La Sirimbone menikam perut ular naga. Monster itu tidak menyangka kalau ia akan diserang secara tiba-tiba. Ketika ular naga itu ingin menyerang balik, keris sakti milik La Sirimbone telah berhasil mengoyak-oyak isi perut si monster. Tak berapa lama, ular naga itu pun mati karena kehabisan darah. Wa Ngkurorio yang sebelumnya mempertanyakan kemampuan La Sirimbone pun hanya bisa berdecak kagum. Gadis itu segera menyampaikan terima kasih kepada La Sirimbone yang telah menyelamatkan nyawanya. Kabar kematian ular naga yang tersebar membuat para penduduk kampung bersorak gembira dan menyelenggarakan pesta besar-besaran. Sementara itu, Wa Ngkurorio yang merasa telah diselamatkan La Sirimbone kemudian menyetujui bujukan para penduduk kampung yang ingin menikahkannya dengan laki-laki pemberani dan sakti itu. Kehidupan rumah tangga La Sirimbone dan Wa Ngkurorio dipenuhi dengan kebahagiaan dan ketentraman. Anak laki-laki yang dulunya ditinggalkan keluarganya itu bisa membangun keluarganya sendiri. Begitulah akhir cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara. Baca juga Cerita Rakyat Nenek Luhu dan Ulasan Lengkapnya, Dongeng Terjadinya Laguna Air Putri di Maluku Unsur Intrinsik Dongeng La Sirimbone Nah, kamu telah mengetahui bagaimana kisah lengkap La Sirimbone. Selanjutnya, saatnya kamu menyimak tentang apa saja unsur intrinsik yang ada dalam dongeng anak-anak asal Sulawesi Tenggara tersebut. Uraiannya dapat kamu cek dalam penjelasan berikut 1. Tema Inti cerita atau tema dari cerita rakyat La Sirimbone asal Sulawesi Tenggara adalah tentang keluarga. Dongeng itu mengikuti kisah hidup seorang anak laki-laki yang ditinggalkan oleh keluarganya dan akhirnya bisa mempunyai keluarga sendiri ketika ia dewasa. 2. Tokoh dan Perwatakan Beberapa tokoh yang memiliki peran dalam pengembangan cerita adalah La Sirimbone, Wa Roe, La Petamba, raksasa perempuan, jin, babi, Pak Nelayan, dan Wa Ngkurorio. La Sirimbone digambarkan sebagai tokoh yang baik hati, patuh, berani, dan penuh keberuntungan. Sementara itu, Wa Roe sebenarnya adalah ibu yang mandiri, peduli, dan sangat menyayangi anaknya. Sayangnya, ia tidak bisa melindungi La Sirimbone dari perlakuan kejam La Petamba dan meninggalkan putra satu-satunya di hutan. La Petamba memiliki watak yang egois, suka marah, dan mudah jatuh cinta dengan perempuan cantik. Laki-laki itu juga hanya suka membual karena ia terbukti mengingkari janji setelah berhasil menikahi Wa Roe. Selanjutnya, raksasa perempuan yang mulanya ditakuti oleh La Sirimbone justru menjadi sosok yang merawat dan melindunginya dari mara bahaya. Selain itu, ada juga jin, babi, dan Pak Nelayan yang memberikan jimat serta senjata pusaka mereka untuk La Sirimbone. Wa Ngkurorio merupakan seorang perempuan berwajah cantik dan berbudi luhur. Ia rela berkorban untuk dijadikan mangsa ular naga demi keselamatan ayah dan ibunya. 3. Latar Latar yang ada dalam cerita La Sirimbone terdiri dari banyak tempat, Sebut saja rumah La Sirimbone, rumah raksasa perempuan, hutan, sungai, dan rumah Wa Ngkurorio. 4. Alur Jalan cerita atau alur cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara termasuk dalam jenis alur maju atau progresif. Cerita di awali dengan perkenalan karakter La Sirimbo dengan ibunya, Wa Roe. Kehidupan keluarga itu mulanya baik-baik saja sampai datangnya La Petamba. Konflik pertama dimulai dengan perlakuan La Petamba yang tidak menepati janjinya dengan Wa Roe untuk memperlakukan La Sirimbone layaknya anak kandung sendiri. Kemudian, kisah La Sirimbone pun semakin berliku-liku dengannya ditinggalkan oleh Wa Roe di hutan. Ketika di hutan, ia berjumpa dengan raksasa perempuan yang mengizinkan La Sirimbone untuk tinggal di rumahnya. Seiring tumbuh dewasa, laki-laki itu berjumpa dengan beragam makhluk yang memberikannya jimat dan senjata pusaka. Puncak konflik terjadi ketika La Sirimbone melawan ular naga yang hendak memakan Wa Ngkurorio. Pada akhirnya, laki-laki itu sukses mengalahkan sang monster dan menikah dengan gadis yang ia selamatkan tersebut. 5. Pesan Moral Amanat atau pesan moral yang dapat kamu ambil dari kisah hidup La Sirimbone adalah untuk tetap berbuat kebaikan walaupun kadang dunia memberikanmu yang sebaliknya. Selain itu, dari tokoh utama tersebut kamu juga belajar untuk jangan mudah menyerah. Dari karakter La Petamba, kamu jadi belajar untuk tidak menjadi pribadi yang ingkar janji demi kepentingan diri semata. Bila kamu mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan kepadamu, maka akan tiba hari di mana semua orang tidak akan bisa percaya denganmu lagi. Tidak hanya unsur intrinsik, ada juga unsur ekstrinsik yang terkandung dalam cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara. Sebut saja nilai-nilai yang berlaku di masyarakat setempat, contohnya adalah nilai budaya, moral, dan sosial. Baca juga Legenda Putri Aji Bidara Putih, Asal Usul Terbentuknya Danau Lipan Beserta Ulasan Lengkapnya Fakta Menarik Setelah mengetahui dongeng La Sirimbone beserta unsur-unsur intrinsiknya, rasanya belum lengkap kalau kamu tidak sekalian menyimak fakta menarik seputar cerita anak-anak dari Sulawesi Tenggara tersebut. Mari simak ulasannya dalam penjelasan berikut 1. Tersedia dalam Bentuk Buku Ilustrasi Cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara menjadi salah satu dongeng yang dirilis dalam bentuk ilustrasi khusus untuk anak-anak. Sehingga, anak-anak bisa lebih tertarik untuk menyimak cerita tentang anak laki-laki yang baik hati dan penuh keberuntungan tersebut. 2. Menjadi Materi Tugas Storytelling Banyak cerita rakyat di Indonesia yang menjadi bahan untuk tugas storytelling atau bercerita di depan umum dalam bahasa Inggris. Oleh sebab itu, bukan sebuah kebetulan jika dongeng La Sirimbone juga dialihbahasakan ke bahasa Inggris. Baca juga Dongeng Burung Jalak dan Kerbau Beserta Ulasannya, Kisah Persahabatan Tak Lekang Masa Cerita Rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara yang Mengajarkan Pesan Positif Demikian ulasan kisah La Sirimbone dari Pulau Sulawesi yang bisa kami rangkum. Apakah kamu dapat mengambil pesan-pesan positif dari cerita rakyat tersebut? Kalau iya, semoga saja kamu bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya cerita rakyat, masih banyak artikel menarik lainnya yang dapat kamu jumpai di PosKata. Beberapa di antaranya adalah legenda Danau Dendam Tak Sudah, asal mula anak Sungai Mahakam, dan dongeng Naga Erau. Selamat membaca! PenulisAulia DianPenulis yang suka membahas makeup dan entertainment. Lulusan Sastra Inggris dari Universitas Brawijaya ini sedang berusaha mewujudkan mimpi untuk bisa menguasai lebih dari tiga bahasa. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.
cerita rakyat dari sulawesi tenggara